Search

OPINI : Benarkah Naturalisasi Atlet, Merugikan Atlet Lokal? - Harian Terbit

Oleh: M. Nigara
Wartawan Sepakbola Senior
Stafsus Menpora RI


Banyak orang bilang, naturalisasi atlet itu lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya. Naturalisasi bisa membunuh mimpi anak-anak kita. Banyak pendapat lain yang intinya bernada miring. Benarkah begitu?

Jawabnya tentu saja sangat beragam. Sangat bergantung di mana kita berdiri. Saya tidak ingin mengambil garis, dan tidak ingin menentang mereka yang anti. Saya juga tidak ingin membela mereka yang pro.

Ada beberapa contoh yang coba saya angkat untuk kita jadikan pengetahuan saja. Dulu, saat Nusantara masih menjadi Hindia Belanda, ternyata ada beberapa orang Belanda yang terang-terangan justru melawan negaranya untuk membela inlander atau pribumi. Nasionalismenya luar biasa tinggi.

Muhammad Husni Thamrin. Siapa yang tak mengenal tokoh yang satu ini? Dia adalah pahlawan nasional, namanya diabadikan sebagai jalan utama di republik tercinta ini.
Tapi, tahukah kita bahwa MH. Thamrin ternyata berdarah Belanda. Ayahnya Sinyo bule murni, ibunya berasal dari tanah Betawi.

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (umumnya dikenal dengan nama Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Ayah-ibunya Belanda tulen meski Dekker dilahirkan di Pasuruan, Hindia Belanda, 8 Oktober 1879 dan meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun). Sekali lagi, siapa yang berani meragukan perannya dalam perjuangan menuju kemerdekaan republik? Maka gelar pahlawan nasional pun melekat di dirinya.

Artinya, jika kita bicara soal perjuangan dan nasionalisme, kita tidak bisa seperti sedang berada dalam kotak. Pola pikir dan pengetahuan kita hendaknya bisa melanglang buana hingga bagian yang tak kasat mata.

Jerman dan Rusia
Meski tidak semua orang Jerman menyukai Adolf Hitler, tapi fakta menegaskan bahwa tokoh yang sensasional itu adalah orang Jerman. Sejarah telah menorehkan kisah bahwa Hitler adalah orang paling rasis. Mimpinya seluruh dunia dikuasai oleh ras Aria, ras yang ia akui sebagai yang paling unggul dan di dalam dirinya mengalir darah Aria.

Diakui atau tidak, hingga saat ini, bangsa Jerman juga diyakini
masih terbilang rasis. Bangsa Jerman masih tetap merasa paling unggul. Di sepakbola, Franz Beckenbauer dan kawan-kawan membuktikannya dengan meraih gelar juara dunia sebanyak empat kali: 1954, 1974, 1990, dan 2014.

Meski begitu hebat dan memiliki latar belakang, maaf, agak rasis, toh mereka tanpa ragu memanggil Gerald Asamoah ke dalam tim nasionalnya, tentu tidak mulus. Uniknya, Asamoah, bukan hanya lahir di Mampong, Ghana, Afrika, kulitnya pun hitam legam (maaf), hingga selalu terlihat mencolok. Dan Asamoah pun tetap saja dengan tenang bermain di timnas yang pernah empat kali juara dunia itu.

Lalu, Rusia yang tak kalah rasisnya, juga tak malu-malu memasukkan Ari atau lengkapnya Ariclenes da Silva Ferreira berdarah Brasil ke dalam timnasnya. Pasti pertentangan tidak kecil. Adalah Pogrebnyak, mantan pemain nasional, tegas menolaknya. Ia tidak sendirian menentangnya, dan gagal.

Meski ada naturalisasi, toh baik Jerman maupun Rusia, tetap saja bisa melahirkan bintang-bintang dunia berikutnya. Artinya? Terserah kita melihat dan menilainya, mudarat atau manfaat. Kata orang Jawa: Monggo wae.

Berbeda
Bicara soal naturalisasi, saya jadi ingat November, Desember 2008 hingga Februari 2009. Saya, dan sahabat-sahabat para wartawan senior: Yesayas Octavianus (Kompas), Reva Deddy Utama (antv/tvone), Toro, dan beberapa lainnya, 'mendapat tugas' dari PSSI untuk ke Belanda.

Niatnya jelas, mencari pemain-pemain untuk dinaturalisasi. Tujuannya juga jelas, hanya untuk memotivasi. Harapannya, para pemain naturalisasi itu bisa memberi kontribusi prestasi, sekali lagi hanya untuk merangsang. Untuk itu, para pemain naturalisasi harus yang akan direkrut, wajib memiliki skill di atas rata-rata para pemain lokal.

Tidak hanya itu, persyaratan siapa pemain yang boleh dan bisa dinaturalisasi, juga sudah diputuskan. Ya, wajib separuh Indonesia, seperti: Simon Tahamata, Giovanni van Bronckhorst (kapten timnas Belanda), atau Raja Nengggolan pemain AS. Roma.

Biar ada rasa Indonesianya, tapi jika bicara kualitas, sudah di atas rata-rata pemain lokal. Jumlah mereka menurut info yang kami terima, sangat banyak. Usianya juga tidak boleh lebih dari 24 tahun.

Keputusan itu diambil setelah berdiskusi lumayan panjang. Dan melihat prestasi timnas tak kunjung cerah. Keputusan ini juga bukan langkah keputus asaan, tapi sekadar untuk
memotivasi pemain-pemain lokal. Jadi, sejak awal naturalisasi bukanlah tujuan akhir, naturalisasi hanya sekedar sasaran antara.

Dengan begitu, PSSI bisa lebih fokus pada konsentrasi untuk pembinaan usia dini. PSSI bisa lebih fokus melakukan Pematangan fondasi, pembuatan, dan pemantaban konsep menuju ke prestasi.

Semua berantakan ketika terjadi gonjang-ganjing di tubuh PSSI 2010-2011. Dualisme dan intimidasi menghancurkan segalanya. Konsep naturalisasi yang lama, berubah total. Benar ada Stefano Lilipaly, Diego Michel, dan beberapa lainnya yang separuh Indonesia, tapi dari 27 pemain naturalisasi yang ada, jumlah seperti kosep awal, masih terlalu sedikit. Selain itu, usia mereka juga tidak dalam posisi golden age. Yang paling terakhir Fabiano Da Silva, usianya sudah 40 tahun.

Jika dulu naturalisasi bertujuan untuk kepentingan tim nasional, saat ini justru digunakan untuk kepentingan klub. Artinya, jika klub bisa menaturalisasikan seorang pemain asing, maka klubnya bisa menambah kuota pemain asing lainnya. Artinya, kepentingan sektoral menjadi yang utama. Mesti hal itu tidak terjadi.

Jadi, apakah kita tetap bisa melanjutkan naturalisasi seperti saat ini, atau kembali ke konsep awal? Atau, kita tak lagi membutuhkan langkah itu? Semua saya serahkan pada anda sekalian.

Bagi saya, naturalisasi itu tetap penting, hanya saja kita harus memilih dengan cara yang tepat. Dan, naturalisasi bukanlah menjadi tujuan akhir.

Let's block ads! (Why?)



"lokal" - Google Berita
January 29, 2020 at 10:27PM
https://ift.tt/2GLilgh

OPINI : Benarkah Naturalisasi Atlet, Merugikan Atlet Lokal? - Harian Terbit
"lokal" - Google Berita
https://ift.tt/2nu5hFK

Bagikan Berita Ini

0 Response to "OPINI : Benarkah Naturalisasi Atlet, Merugikan Atlet Lokal? - Harian Terbit"

Post a Comment

Powered by Blogger.