Yunita Tine (44) melangkah menembus semak di antara kerapatan pohon kelapa mengikuti suaminya, Herman Nanguri (51). “Kami mau cari laluga buat keponakan di Manado. Suaminya kebetulan sedang pulang kampung ke sini,” kata Yunita di bawah terik mentari kala Jumat (6/3/2020) siang.
Menjauh dari jalan lingkar Pulau Miangas, semak berganti batang-batang hijau lunak yang menjulang lurus setinggi 1,5-2 meter. Daun-daunnya lebar dengan tulangnya menyirip sehingga sangat menyerupai talas (Colocasia esculenta), atau bete dalam Melayu Manado. Herman mengamati dan menyeleksi batang-batang tersebut sambil meminta pendapat Yunita, mana yang sudah cukup matang dan besar untuk dicabut.
Atas persetujuan sang istri, ia mulai menebas tiga sampai empat batang yang tumbuh dalam satu rumpun dengan golok. Ditariknya sisa batang itu hingga bonggol akar serabutnya keluar dari tanah. Hal yang sama ia lakukan pada belasan rumpun lainnya.
Golok beralih ke tangan Yunita. Dengan cekatan ia mengupas kulit belasan bonggol akar berwarna coklat beserta serabutnya. Sedikit demi sedikit tampaklah daging umbi berwarna kuning gading. Terakhir, dipenggalnya sisa batang yang masih menempel. Itulah laluga, sejenis umbi mirip talas dan keladi sumber karbohidrat warga Miangas, Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara.
“Dulu tidak ada beras di sini, jadi kami tumbuh dewasa sebagai pemakan laluga. Sampai sekarang, kami masih makan laluga hampir setiap hari. Sepuluh bonggol bisa untuk satu minggu kalau hemat,” kata Yunita.
Baca Juga: Terkungkung Samudera, Nelayan Pulau Miangas Tidak Berkembang
Herman mengatakan, butuh sekitar 2,5 sampai 3 jam untuk merebus laluga hingga tekstur kerasnya melunak. Laluga yang direbus tanpa bumbu itu kemudian dimakan berdampingan dengan ikan cakalang yang diambil langsung dari laut, lepas, rica, serta sayur gedi yang tumbuh liar hampir di semua bagian pulau seluas 3,2 kilometer persegi itu. Jumlah penduduk Pulau Miangas sekitar 800 orang saja.
“Rebusnya harus pakai kayu bakar, kalau pakai kompor gas jelas boros. Tidak perlu dikasih bumbu apa-apa, rasa laluga sudah gurih,” kata Herman.
Kini, mayoritas pengonsumsi laluga adalah warga Miangas yang sudah tak muda lagi.
Rasa laluga rebus mirip sukun rebus. Direbus tanpa garam, laluga tetap terasa sedikit asin. Tekstur yang padat tak membuatnya sulit dikunyah.
Sebagai pemakan rutin laluga, Herman dan Yunita merasa kebutuhan pangan mereka tercukupi. Sebab, laluga tumbuh di tanah seluruh bagian pulau—kecuali sekitar sepertiga bagian yang merupakan area permukiman dan bandar udara—sekalipun kandungan kapur pada tanah di Miangas tinggi. “Kalau sering hujan, dia tumbuh makin banyak,” kata Yunita.
Walakin, perlahan konsumsi laluga keluarga Yunita dan Herman berkurang sering berkembangnya kebiasaan makan nasi. Setiap tiga bulan, pemerintah desa membagi rata beras Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) serta Program Keluarga Harapan (PKH). Yunita mendapatkan setidaknya 6 kilogram beras tiap triwulan.
Hanya orang tua
Itje Tine (54) ingat betul, selalu ada laluga di dapur rumahnya kala dirinya masih kecil. Sesekali, ayahnya akan melaut dengan perahu kayu bersama nelayan lainnya menuju Tibanban, Kota Governor Generoso di Filipina Selatan untuk menukarkan hasil bumi Miangas dengan beras. Jadi, ada variasi makanan pokok di rumahnya.
Menjelang usia dewasa, makin banyak beras masuk ke Miangas. Pemerintah Presiden Soeharto kala itu bertekad mencapai swasembada pangan pada 1984 dengan menggenjot keberadaan stok beras nasional. Kebijakan itu lazim disebut beras-isasi. “Saya ingat, warga makin sering makan nasi waktu saya sudah gadis,” katanya.
Perlahan, beras menggeser laluga dari atas meja makan Itje. Anak-anak Itje pun lebih terbiasa makan nasi, begitu pula cucu-cucunya. Menurut dia, kini mayoritas pengonsumi laluga adalah warga Miangas yang sudah tak muda lagi. Itje sendiri masih mengolah laluga, karena kulit umbi tersebut bisa dijadikanpakan ternak babi.
Perubahan pada kebiasaan makan warga Miangas juga dirasakan Sekretaris Desa Miangas Alfred Lalala. Menurut dia, berasisasi dari Orde Baru telah menanamkan bibit perubahan fundamental pada konsumsi warga, termasuk dirinya.
“Sekarang, warga Miangas sudah mengerti perkembangan zaman yang semakin maju. Makanya, makin banyak warga yang lebih suka makan nasi. Laluga sekarang cuma pilihan buat yang suka. Sebagian bahkan menjadikan (umbi) laluga sebagai bahan pakan ternak, bukan cuma kulitnya,” kata pria berusia 37 tahun itu.
Perubahan ini berarti Miangas menggantungkan pemenuhan kebutuhan pangan sepenuhnya dari daratan Pulau Sulawesi. Tidak ada budidaya padi sama sekali di pulau itu. Lebih dari 500 kilometer lautan harus ditempuh kapal perintis pembawa logistik untuk membawa beras ke Miangas. Itu pun jika cuaca mengizinkan.
“Ada kalanya ombak sedang tinggi dan angin sedang ganas sehingga kapal tidak bisa berlayar ke Miangas, misalnya saat angin musim barat. Awal 2019 lalu, sempat satu bulan tidak ada kapal masuk. Beras di toko-toko dan gudang desa habis. Saat stok beras habis, ya kami kembali ke pangan tradisional kami, laluga,” ujar Alfred.
Ana Maria Jordan (49), salah satu pedagang Miangas, menyebut ombak besar adalah ancaman terhadap ketersediaan pangan. “Kalau ombak tinggi, mau makan apa warga sini? Cuma ada laluga,” katanya. Para pedagang seperti dirinya pun selalu berupaya menyediakan 10-20 karung beras berisi 50 kg setiap karungnya setiap pekan dengan harga Rp 15.000 per kg.
Meski cuaca bisa menghambat kedatangan beras kapan saja, pemerintah desa Miangas belum membuat program ketahanan pangan. Kata Alfred, stok beras Miangas saat ini masih aman. Desa membuat lumbung pangan yang diisi beras bantuan dari pemerintah pusat dan provinsi.
Baca Juga: Talud dan Utang Warung di Miangas
“Beras itu sebenarnya diberikan untuk 51 penerima. Tapi kepala desa membagikannya secara adil biar tidak ada iri hati antarwarga. Ada 800 warga Miangas, tiap orang bisa terima 6 kg beras tiap tiga bulan,” katanya.
Nina Parenta, pendamping program BPNT di Miangas, mengatakan, sejatinya hanya ada 12 penerima beras dan telur BPNT. Satu keluarga penerima manfaat menerima 40 kg beras dan 16 kg telur. Di samping itu, ada pula 39 keluarga penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH) dengan jatah 20-40 kg beras, 8-16 kg telur, dan uang Rp 220.000-Rp 440.000. Namun, realisasinya tak demikian.
Krisis beras
Kepala Puskesmas Miangas Albert Nusa, juga telah berkali-kali merasakan tipisnya stok beras di Miangas akibat ganasnya ombak di perairan Sulawesi dekat Laut Mindanao dan Samudera Pasifik itu. Namun, baginya Miangas tidak pernah kehabisan pangan.
“Bukan krisis pangan yang terjadi, melainkan cuma krisis beras. Di sini ada laluga, ada juga pisang capatu (sepatu) sebagai sumber karbohidrat. Daerah kami memang butuh perhatian pemerintah, tetapi harusnya pemerintah memperhatikan karakteristik daerah kami,” kata Albert.
Semakin akrab dengan beras dan sumber karbohidrat lain yang siap saji seperti mi instan, Albert mengamati pertambahan kasus diabetes melitus di kalangan warga Miangas. Selain faktor genetik, pola makan warga turut memengaruhi.
“Warga lebih suka makan nasi karena sudah ada rice cooker. Cukup 20 menit beras sudah jadi nasi, jauh lebih cepat daripada laluga. Padahal, laluga lebih sehat dari nasi karena kandungan gulanya lebih rendah dan seratnya lebih tinggi,” kata Albert.
Catatan Kompas (26 September 2013), sebagian varietas padi berindeks glikemik tinggi, yaitu di atas atau sama dengan 70. Misalnya, indeks glikemik varietas IR 64 mencapai 70, sementara Mekongga (96), Bengawan (106), dan Ciasem (130). Semakin, tinggi angka kadar glikemik suatu pangan, semakin tinggi risikonya memicu diabetes.
Sebaliknya, umbi-umbian seperti talas cukup rendah, di kisaran 40-50. “Makanya, umbi-umbian banyak digunakan untuk terapi orang diabetes,” kata Albert.
Hingga kini, nama laluga belum umum dikenal. Beberapa warga Miangas menyebutnya endemik di gugusan pulau Nusa Utara. Namun, tidak ada jejak penelitian ilmiah soal laluga untuk membuktikan endemisitas maupun kandungan gizinya. Nama latinnya bahkan tak diketahui.
Di lain pihak, pemerintah kabupaten Kepulauan Talaud terus menjamin ketersediaan pangan di Miangas dalam bentuk bantuan. Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kepulauan Talaud Ordik Rompah mengatakan, pemkab selalu mengantisipasi kerawanan pangan dengan mengantarkan bantuan beras mendekati masa cuaca buruk yang telah prediksi.
Pemkab Talaud tak punya program untuk mempromosikan pangan lokal seperti laluga di kalangan warga sendiri.
“Terakhir kami mengantarkan bantuan 10 ton bantuan beras dari provinsi ke Miangas. Tahun ini belum karena belum mendekati masa rawan pangan,” kata Ordik.
Menurut Ordik, Talaud membutuhkan 11.000 ton beras setiap tahun, tetapi hanya mampu menghasilkan 1.000 ton di beberapa daerah irigasi. Miangas bukan salah satu daerah irigasi tersebut. “10.000 ton harus kami datangkan dari luar. Tapi kami jamin warga tidak akan kelaparan,” katanya.
Ordik pun sebenarnya mengetahui keberadaan laluga sebagai pangan lokal. Namun, ia menilai masyarakat sudah terbiasa dengan beras sehingga teriakan rawan pangan sering terdengar dari Miangas. Ia menyoroti warga yang tak bisa mengembangkan laluga karena terbiasa mengandalkan bantuan.
Kendati begitu, pemkab Talaud tak punya program untuk mempromosikan pangan lokal seperti laluga di kalangan warga sendiri. Ini kontras dari Kepulauan Sangihe yang sudah memprogramkan Hari Tanpa Nasi setiap Selasa dan Jumat. Pasar tani dan nelayan pun digelar tiap Senin dan Kamis agar warga bisa menjual dan mempersiapkan sagu dan umbi-umbian sehari sebelumnya.
“Kami sudah pernah memprogramkannya sekali sepekan, tapi tidak jalan. Nanti akan kami pertimbangkan lagi,” kata Ordik.
Tidak sekali teriakan rawan pangan dan terancam kelaparan diperdengarkan warga Miangas dan digaungkan media massa. Selama 15 tahun terakhir, Kompas juga memberitakan kerawanan pangan di Miangas akibat ketiadaan beras setidaknya empat kali, masing-masing pada 2006, 2013, 2015, dan 2017. Padahal, sumber pangan di Miangas tak pernah lebih jauh daripada jarak pandangan mata.
"lokal" - Google Berita
March 29, 2020 at 08:21AM
https://ift.tt/3bK8qVJ
Balada Laluga, Pangan Lokal Miangas yang “Tertimbun” Beras - kompas.id
"lokal" - Google Berita
https://ift.tt/2nu5hFK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Balada Laluga, Pangan Lokal Miangas yang “Tertimbun” Beras - kompas.id"
Post a Comment