Search

Cerita di Balik Anggur Misa Lokal Gereja Katolik Indonesia - Jawa Pos

Anggur misa tidak sama dengan wine yang ada di pasaran, harus diproduksi sesuai dengan Hukum Gereja dan Tata Aturan Peribadatan Katolik. Kerja sama dengan winery lokal di Bali mengakhiri tradisi wine impor yang telah berlangsung 500 tahun.

FARID S. MAULANA, Buleleng

DARI rumah sakit. Berlanjut ke tempat produsen anggur. Dan, bermuara di gereja. Itulah jalan yang mengakhiri tradisi anggur misa impor di Gereja Katolik tanah air yang telah berusia sekitar 500 tahun.

’’Jadi, waktu itu saya dan Michael (Fleming) sama-sama menjenguk Uskup Bogor Mgr Paskalis Bruno Syukur yang tengah dirawat di rumah sakit di Sintang,’’ kenang Romo Agustinus Surianto kepada Jawa Pos.

Ketika itu, November 2017, mereka berada di Sintang, Kalimantan Barat, untuk menghadiri penahbisan Mgr Samuel Oton Sidin sebagai uskup setempat. Tiba-tiba saja Mgr Paskalis Bruno Syukur sakit dan langsung dilarikan ke RSUD Ade Mohammad Djoen, Sintang.

Berbincanglah Romo Agus, kepala Departemen PSDM-PU-TG (Pengembangan Sumber Daya Manusia, Pelayanan Umum, dan Tenaga Gereja) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) itu, dengan Michael. Entah bagaimana, arah obrolan mereka menuju ke anggur misa.

Kebetulan, Michael merupakan tangan kanan Mulyati Gozali, founder Sababay Winery, produsen wine yang berlokasi di Gianyar, Bali. Muncullah ide agar Sababay Winery bisa memproduksi anggur misa.

Walau sempat beberapa kali gagal, pada 30 Agustus 2017 Romo Agus dan Michael akhirnya bertemu kembali. Yang kemudian dilanjutkan dengan kunjungan langsung ke Sababay Winery dan petani binaan mereka di Buleleng.

Sababay Winery, tutur Romo Agus, menyanggupi memproduksi sacramental wine alias anggur misa dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalam peribadatan Katolik. ’’Setelah berbagai pembicaraan, penelitian lapangan, dan uji coba yang memadai. Bahan baku buah anggur diperoleh dari kebun para petani setempat yang bermitra dengan Sababay,’’ jelasnya.

Jadilah sejak 28 November tahun lalu, seluruh Gereja Katolik di Nusantara punya anggur misa buatan lokal. Yang artinya menghapus tradisi impor sacramental wine dari luar negeri yang sudah dilakukan selama 500 tahun keberadaan Gereja Katolik di Indonesia.

Jawa Pos kemarin (24/12) berkesempatan berkunjung ke Sababay Winery. Melihat langsung bagaimana anggur misa dibuat dengan sangat cermat. Mulai pengolahan hingga proses produksinya.

Sejak anggur datang dari para petani misalnya, seleksi dilakukan. Hanya anggur-anggur yang dalam kondisi baik yang dipilih. Langkah selanjutnya, anggur dihancurkan dan diambil juice-nya saja. Sebelum kemudian dimasukkan ke dalam tangki untuk difermentasi dengan ragi.

Ada tiga tangki di Sababay Winery yang khusus diperuntukkan sacramental wine. Yang proses fermentasinya hingga menjadi wine membutuhkan waktu 6–8 bulan. ’’Sebenarnya, untuk prosesnya, sacramental wine sama saja dengan wine lain. Tapi, kami menjaganya secara khusus. Ada tangki tersendiri,’’ kata Winery Tour Assistant Manager Sababay Winery Vania Dorothea.

Sacramental wine itu, lanjut Vania, jadi suci kalau sudah diberkati. ’’Artinya, ketika di gereja dan diberkati, anggur misa ini jadi suci,’’ lanjutnya.

Dalam bahasa lain, ’’anggur misa halal’’. Artinya, anggur yang sesuai dengan Hukum Gereja dan Tata Aturan Peribadatan Katolik. ’’Serta mendapat status Nihil Obstat dari otoritas gereja yang berwenang,’’ jelas Romo Agus.

Kesulitan terbesar selama 500 tahun sebelumnya adalah tidak adanya winery lokal yang memadai. Banyak yang tidak sanggup karena pembuatan anggur misa tidak boleh sembarangan. Pembuatannya tidak sama dengan wine yang ada saat ini.

Ya, anggur misa memang tidak sama dengan wine yang ada di pasaran yang sudah diproduksi winery lokal. Anggur misa harus dihasilkan dari fermentasi buah anggur jenis Vitis vinifera yang dicampur ragi tertentu.

Dua komponen itu tidak boleh dicampur dengan bahan apa pun lagi. Dan, yang terpenting, anggur misa harus dalam keadaan segar saat digunakan. ’’Tidak masam ataupun rusak. Karena itu, kadar alkoholnya harus diukur sedemikian rupa,’’ kata Romo Agus.

Dia menambahkan, ada batas minimal dan maksimal alkohol. ’’Agar (anggur misa) segar dalam waktu yang lama ketika didistribusikan ke tempat yang jauh dari pembuatannya,’’ lanjutnya.

Proses untuk mewujudkan anggur misa lokal sebenarnya berlangsung sejak dulu. Romo Agus menyatakan, Indonesia sejak 1974 mengimpor anggur misa dari Sevenhill Winery di Australia Selatan. ’’Sebelum tahun itu, konon diimpor dari Spanyol,’’ terangnya.

Ketika mengimpor, proses realisasinya setahun. Mulai negosiasi harga, jumlah produksi, pengurusan dokumen, hingga transportasi selama pengiriman. Belum lagi pendistribusiannya ke seluruh keuskupan di Indonesia.

Kerumitan itulah yang membuat ide agar anggur misa lokal bisa swasembada muncul pada 2010–2011. Tentu tidak lantas berjalan mulus. Banyak kendala yang menghadang.

Salah satunya, pemerintah masih melihat anggur misa secara hitam-putih. Masih disamakan dengan table wine pada umumnya sebagai minuman beralkohol. ’’Impor dilakukan tiga tahun sekali saat itu. Kebutuhan per tiga tahun mencapai 400–800 drum, total 88.000–105.600 liter setiap impor,’’ terangnya.

Ujungnya, impor tampak seperti dipersulit. Nah, agar 37 keuskupan di Indonesia bisa mendapatkan anggur misa, impor dilakukan dengan kuantitas tidak terlalu mencolok. Bukan tiga tahun sekali, melainkan diperpendek menjadi dua tahun sekali. Jadi, rata-rata 61.600–70.400 liter sekali impor.

Romo Agus mengakui, saat memilih Sababay Winery, sempat terjadi penolakan dari kalangan internal tertentu. Baik dari uskup maupun pastor. ’’Tapi, akhirnya semua bisa menerima hasil kerja sama itu. Anggur misa bisa diproduksi lokal,’’ ujarnya.

Sebab, selain dapat membuat anggur misa yang ’’halal’’, Sababay Winery mampu memproduksi anggur misa bagi peribadatan umat Katolik di seluruh Indonesia.

Apalagi, mereka sudah biasa memproduksi table wine dengan berbagai varian bagi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Selain memiliki kebun anggur sendiri, Sababay mempunyai ratusan mitra petani lokal di Kabupaten Buleleng, Bali Utara.

’’Laboratorium dan kebun anggur mereka saat ini terus-menerus melakukan penelitian dan percobaan untuk mengembangkan benih-benih pohon anggur yang baik.”

Chief Operation Officer Sababay Winery Yohan Handoyo menyebutkan, ketika ’’dititipi’’ untuk memproduksi anggur misa, pihaknya tidak merasa keberatan. Bahkan, dia mengakui, tidak ada kesulitan untuk membuat anggur misa yang ’’halal’’.

’’Romo Agus ketika datang ke sini bawa contoh anggur misa yang impor, lalu kami analisis dan cicipi, ternyata rasanya tidak berbeda dengan salah satu hasil wine produksi kami. Jadi, tidak ada masalah untuk membuatnya,’’ paparnya.

Walau punya hak penuh memproduksi, Yo menuturkan, seluruh proses distribusi ditangani langsung oleh KWI. Bahkan, ketentuan produksi pun diatur.

’’Awalnya hanya untuk Gereja Katolik, kemudian ada jemaat yang ingin. Lalu, ada persetujuan dijual, tapi melalui Toko Obor yang dikelola Gereja Katolik. Di luar itu tidak boleh dijual,’’ tegasnya.

Bahkan, walau setiap hari ada winery tour dan keinginan para turis mencicipi sacramental wine sangat besar, Vania menegaskan tidak akan mungkin mengizinkannya. Pihaknya menghargai keinginan Gereja Katolik yang hanya ingin sacramental wine didistribusikan melalui KWI.

’’Jadi, jemaat yang mau, silakan ke pihak Gereja Katolik,’’ tuturnya.

Let's block ads! (Why?)



"lokal" - Google Berita
December 26, 2019 at 09:32AM
https://ift.tt/34RQUL3

Cerita di Balik Anggur Misa Lokal Gereja Katolik Indonesia - Jawa Pos
"lokal" - Google Berita
https://ift.tt/2nu5hFK

Bagikan Berita Ini

0 Response to "Cerita di Balik Anggur Misa Lokal Gereja Katolik Indonesia - Jawa Pos"

Post a Comment

Powered by Blogger.