KONTAN.CO.ID - JAKARTA. "Ayo, ayo..., sudah ya ini, langsung ditimbang. Oke, 8,1 ton, terus selanjutnya. Ini 8,2 ton,..." kata seorang pengepul ikan hasil tangkapan para nelayan di Muara Angke, Jakarta Utara. Suara tersebut akrab di telinga jika Anda berkunjung ke sana pada siang hari.
Sejak lama, kawasan di Utara Jakarta itu menjadi salah satu denyut perekonomian sektor maritim. Geliat Muara Angke mulai hidup sejak pagi-pagi buta, tempat ratusan nelayan di sekitar DKI Jakarta menggantungkan hidupnya setiap hari.
"Kapal nelayan baru merapat jam 6 pagi - 7 pagi. Kami bongkar hasil tangkapannya siang hari," kata Yusuf, pengepul ikan di Muara Angke kepada KONTAN, Senin (28/10) yang biasanya ia langsung jual ke tempat pelelangan ikan di sana.
Baca Juga: Komunitas nelayan Angke berharap pembangunan di utara Jakarta berlanjut
Sayang, dalam tiga bulan terakhir, tangkapan nelayan sedang seret-seretnya. Ia menduga karena pengaruh musim kemarau yang berkepanjangan yang membuat para nelayan sulit mendapatkan tangkapan yang maksimal.
Biasanya, satu nelayan bisa mendapatkan 1 ton sampai 3 ton ikan saat kondisi cuaca sendang bagus. Tapi saat cuaca buruk seperti saat ini, hasil tangkapan cuma setengah ton saja per kapal.
Kondisi tersebut semakin diperparah dengan adanya aturan dari pemerintah. Misalnya, para nelayan harus punya surat izin kelengkapan kapal. Kalau tidak, kapal nelayan bahkan nelayan bersangkutan bisa ditahan.
Ia pun berharap, hal tersebut menjadi perhatian pemerintah, terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Apalagi ada Menteri yang baru. Kalau kapalnya belum ada surat izin, cukup kapalnya saja yang ditangkap, jangan juga nelayan ikut ditangkap," sarannya.
Baca Juga: Sentra pengasinan ikan hiu di Jakarta Utara (bagian 1)
Mulyadi, nelayan asal Brebes, Jawa Tengah menambahkan, sejumlah teman nelayannya harus menerima pil pahit karena kapalnya belum berizin. Akibatnya, mereka harus ditahan selama beberapa bulan, bahkan ada yang sampai hitungan tahun.
"Kami nelayan kecil, ukuran kapal cuma 15 GT (gross tonnage). Mau taat aturan pemerintah malah dipersulit. Kami minta kebijaksanaan waktu untuk mengurus perizinan, bukan malah ditahan atau dipenjara," tuturnya lirih.
Untuk mengurus Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIPI) butuh waktu sekitar tiga bulan. Belum lagi rentetan persyaratan yang harus disiapkan, dinilai memberatkan para nelayan.
Tak hanya mengurus SIUP dan SIPI, Mulyani mengeluhkan Surat Tanda Keterangan Andon (STKA) yang juga bertele-tele prosesnya. Padahal, STKA merupakan surat yang diterbitkan oleh pemerintah setempat untuk menyatakan nelayan tersebut melakukan andon. Tanpa surat itu, para nelayan tidak diizinkan melaut untuk menangkap ikan.
Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo berjanji sebisa mungkin memangkas atau meninjau kembali persoalan birokrasi. Ia ingin aturan yang memberatkan para nelayan dan pengusaha perikanan akan diperbaiki.
(Bersambung)
Editor: Markus Sumartomjon
Editor: Markus Sumartomjon
"lokal" - Google Berita
November 02, 2019 at 10:20AM
https://ift.tt/2JEZ69O
Menyoal perizinan perikanan di perairan lokal (bagian 1) - Kontan
"lokal" - Google Berita
https://ift.tt/2nu5hFK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menyoal perizinan perikanan di perairan lokal (bagian 1) - Kontan"
Post a Comment