- Kawah Putih, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terbakar. Diduga akibat ulah manusia. Nilai-nilai kearifan lokal mulai hilang di masyarakat.
- Kebakaran hutan yang terjadi di Bandung Selantan ini diperkirakan seluas 241 hektar.
- Menurut data Perhutani KPH Bandung Selatan ada sekitar 3.000 hektar lahan kritis yang harus dibenahi.
- Kondisi hutan yang kritis bukan melulu soal konversi atau perusakan. Tetapi juga masalah rendahnya tingkat pengelolaan maupun pengamanan kawasan.
Akhirnya, kabut dingin berpadu bau belerang kembali menyelimuti Kawah Putih, Ciwidey, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hampir sepekan, wilayah ini beraroma asap akibat kebakaran yang terjadi pada pertengahan Oktober 2019.
Butuh 11 kali pengeboman air menggunakan helikopter, untuk menjinakkan api di objek wisata kesohor Jawa Barat ini. Petugas menduga, kebakaran hutan di ketinggian 2.194 meter di atas permukaan laut disebabkan tangan jahil manusia.
“Sangat memungkinkan faktor manusia,” kata Kaporles Bandung AKBP Indra Hermawan, baru-baru ini.
Baca: Hutan Jawa Rusak: Bukan Hanya Manusia Merugi, Satwa juga Menderita
Sebelum bantuan datang, Rosidin [45] dan Aep Rukma [55] kewalahan memadamkan api. Mereka yang bermodalkan parang dan pacul berusaha sekuat tenaga menjaga kobaran api tak membesar. “Cara ini spontan saja,” kata Aep.
“Yang penting laju api tertahan,” Rosidin menimpali.
Mereka yang bekerja di perkebunan teh mengaku tak punya pengalaman soal kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Apalagi kebaran itu dekat permukiman mereka juga.
Rosidin bertutur, arahan petugas yang menempatkan mereka dalam tim pemadam dijadikan pijakan. Peralatan yang dibawa, atas inisatif sendiri.
“Saya mah nuruti arahan saja,” ujar Rosidin, “Ternyata susah pisan memadamkan api apalagi kalau lereng begini.”
Baca juga: Macan Tutul Turun ke Kawasan Wisata Kawah Putih. Ada Apa?
Tak ada prosedur
Terkait kebakaran, sebenarnya pihak pertama yang memiliki prosedur penanganan ada pada Badan Penanggulangan Bencana Daerah [BPBD]. Hal ini dikatakan Kepala Pelaksana BPBD Jawa Barat, Supriyatno.
“Semua keputusan bersifat prosedural ada di BPBD tiap-tiap daerah. Kami di BPBD Jabar sifatnya hanya mengakomodir penanganan,” kata Supriyatno.
Pengoperasian helikopter adalah contoh, sebab BPBD Jabar tak memilikinya sehingga mengajukan bantuan ke Badan Nasional Penanggulangan Nasional, di Jakarta. “Itu bagian tupoksi yakni koordinasi, pelaksanaan, dan komando dalam penanganan kebencanaan,” ujarnya.
Kendati demikian, terkait karhutla, BPBD di daerah maupun provinsi, tak memiliki standar operasional prosedur [SOP] baku. Mengingat, anggaran kebencanaan dari APBD minim sehingga belum ada peralatan memadai. “Anggaran difokuskan pada sosialisasi, edukasi, dan simulasi, sebagai bentuk pencegahan.”
Sejak ditetapkan siaga dari Agustus hingga Oktober, Pusat Pengendalian Operasi Penanggulangan Bencana BPBD Jabar menerangkan ada 85 kebakaran lahan di sejumlah wilayah dengan total 400 hektar. Untuk Bandung Selatan, termasuk Kawah Putih, 241 hektar areal hutan yang terbakar.
Administratur Perhutani Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] Bandung Selatan Tedy Sumarto menyebut, ada 3.000 hektar lahan kritis di wilayahnya. “Kebakaran ini otomatis menanbah jumlah luasan.”
Total lahan yang dikelola Perhutani 55.480,07 hektar. Angka itu terdiri hutan produksi [7.750,89 hektar], hutan produksi terbatas [3.781,31], dan hutang lindung [43.947,87].
Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian [IPB] Bogor, Hariadi Kartodihardjo berpendapat, kondisi hutan yang kritis bukan soal konversi atau perusakan. “Melainkan rendahnya tingkat pengelolaan maupun pengamanan kawasan,” ujarnya.
Kearifan yang hilang
Sejatinya, masyarakat setempat memiliki budaya atau kearifan lokal yang disebut pamali atau larangan dalam melestarikan hutan.
Larangan itu ada di Kawah Putih. Franz Wilhelm Junghuhn [1809-1864] menemukan kawasan ini pada 1837, ia merasakan kesunyian berbeda. Kisah yang berkembang di masyarakat menyebutkan, Gunung Patuha, yang membentuk Kawah Putih ini diidentikkan angker. Tidak ada yang berani memasuki kawasan tersebut. Ini salah satu alasan mengapa wilayah tersebut sepi.
Di salah satu tempat, yakni puncak Kapuk, masyarakat setempat mengenal mitos domba lukutan [berbulu putih dan tua] yang dipercaya sebagai jelmaan leluhur.
Menurut Aep, mitos itu ampuh menciutkan niat jahat orang yang ingin merusak hutan. “Enggak ada yang berani dulu mah, semua nurut pamali.”
Hal senada diungkapkan Gubernur Jabar Ridwan Kamil. Ia menilai, orang tidak takut hukum formal sekalipun tindakannya dikategorikan melanggar. Justru orang takut terhadap hukum adat.
Ridwan mencontohkan, Baduy, Kampung Naga di Tasikmalaya hingga Kampung Adat Ciptagelar Sukabumi, sukses menjaga serta mengelola hutannya dengan bijak. Kelestariannya terjaga karena keberadaan hukum adat yang dipegang teguh tiap warga.
“Mereka menafsirkan kearifan lokal sebagai instrumen penting dalam pembangunan peradaban. Sayang, hanya segelintir kalangan memahami dan merawat nilai tersebut,” tegasnya.
"lokal" - Google Berita
October 24, 2019 at 05:34PM
https://ift.tt/2NaLRyI
Kearifan Lokal, Nilai yang Hilang Dalam Menjaga Lingkungan - Mongabay.co.id
"lokal" - Google Berita
https://ift.tt/2nu5hFK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Kearifan Lokal, Nilai yang Hilang Dalam Menjaga Lingkungan - Mongabay.co.id"
Post a Comment