Mereka menyebarkan pesan-pesan inspiratif soal bermasyarakat di era globalisasi seperti sekarang melalui konsep Hasthalaku. Direktur Operasional Solo Bersimfoni Didik Prasetyanto mengatakan, sejak program itu mulai masuk ke sejumlah sekolah di Kota Bengawan, generasi milenial cenderung lebih aktif dan toleran saat menyikapi berbagai persoalan di lingkungan masing-masing.
Ini sejalan dengan dibentuknya Solo Bersimfoni pada 2017 lalu. Di mana komunitas ini berdiri untuk mengonter gerakan-gerakan intoleran, radikalisme, ekstremisme, dan teror yang berkembang di eks Karesidenan Surakarta dalam beberapa tahun terakhir.
“Kami sadar pendekatan keamanan tak cukup untuk menangkal persoalan seperti ini. Maka dari itu meski ada gerakan yang diinisiasi dari bawah, bersama masyarakat untuk melawan dan menekan agar intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan teror tidak mudah berkembang dan pecah menjadi permasalahan sosial,” terang dia.
Sejak itu kumpulan pemuda dan akademisi di Kota Solo yang tergabung dalam Solo Besimfoni mulai mengampanyekan nilai budaya untuk menangkal aksi-aksi ini di kalangan anak muda. Pendekatan budaya dipilih sebagai jalur kampanye bagi generasi milenial. Disalurkan ke sekolah-sekolah di Kota Bengawan. Salah satu upaya yang paling signifikan adalah program Hasthalaku. Di dalamnya mengandung nilai kearifan lokal yang layak diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
“Namanya program Hasthalaku (3Glepat). Isinya gotong royong, guyub rukun, grapyak semanak, lembah manah, ewuh pakewuh, pangerten, andap asar, dan tepa slira,” jelas Didik.
Pendekatan yang dilakukan pun tidak konservatif, melainkan dengan mengangkat isu-isu terbaru yang banyak muncul di kalangan anak muda. Mulai dari bullying dan lain sebagainya. Beberapa sekolah pun dibidik sebagai lokasi kegiatan setiap bulan. Hingga akhirnya tanpa sadar masing-,masing sekolah itu sudah menerapkan hasthalaku dalam berbagai kegiatan di dalam sekolah.
“Sampai hari ini ada 100 relawan yang siap terjun ke sekolah-sekolah. Di sana mereka memberikan pendampingan untuk berbagai kegiatan. Misalnya pembuatan video (film pendek), majalah dinding, hingga fragmen (drama pendek). Lama kelamaan kebersamaan generasi muda yang diisi pelajar dan mahasiswa bisa makin akrab dengan nilai-nilai luhur budaya yang sudah ada sejak zaman nenek moyang dulu,” kata Didik.
Setahun berkegiatan dengan nafas kearifan lokal, Solo Bersimfoni berhasil mencanangkan dua sekolah dengan konsep adipangastuti. Ketua Solo Bersimponi Muhammad Farid Sunarto mengatakan, model sekolah adipangastuti adalah sebuah model untuk mengintervensi dan mengimplementasi Hasthalaku di lingkungan sekolah, khususnya pada tingkat SMA sederajat.
“Target implementasinya adalah perubahan perilaku dan sikap para generasi milenial agar lebih berbudaya sesuai nilai-nilai kearifan lokal di lingkungan sekolah dan kalangan remaja. Dampaknya, sikap toleransi yang makin kuat dapat mereduksi berbagai risiko intoleransi yang berbasis kekerasan,” kata dia.
Saat ini, SMAN 1 dam SMAN 6 Surakarta merupakan pilot project untuk pengembangan program serupa di berbagai sekolah lainnya baik di Kota Solo maupun di kabupaten sekitar. Tahun ini, pihaknya menargetkan puluhan sekolah bisa menerapkan konsep sekolah adipangastuti. Meski bentuknya masih dalam ekstrakulikuler, pihaknya berharap ke depan bisa bersinergi dengan pemerintah daerah untuk percepatan realisasi program tersebut.
Untuk lingkungan sekolah dimulai dari hal kecil seperti pembiasaan kegiatan yang dianggap remeh namun memberikan kesan besar. Misalnya membudayakan jabat tangan dengan guru saat datang dan pulang sekolah hingga penyusunan berbagai kegiatan pendukung. Untuk pemerintah tentu arahnya kebijakan berbasis nilai budaya lokal, kurikukum berbasis budaya lokal, hingga regulasi dan sarana prasarana pendukungnya.
“Era globalisasi dengan berbagai kecanggihan informasi yang masuk ke telepon pintar kita ini bisa memengaruhi kebiasaan dan sikap milenial. Karena tidak semua informasi itu tepat untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kadang, bisa berbenturan jika diterapkan di masyarakat dengan tidak bijak. Setelah melalui proses penelitian, kami lakukan pendekatan melalui diplomasi budaya dari nilai-nilai kearifan lokal. Yang secara garis besar sangat diterima masyarakat namun ditinggalkan milenial. Jadi budaya dan modernitas itu tidak beroposisi, namun bisa saling melengkapi bahkan menguatkan,” tutup Farid. (ves/bun)
(rs/ves/per/JPR)
"lokal" - Google Berita
February 17, 2020 at 12:00PM
https://ift.tt/37Exv1S
Dekati Remaja lewat Kearifan Lokal - Jawa Pos
"lokal" - Google Berita
https://ift.tt/2nu5hFK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Dekati Remaja lewat Kearifan Lokal - Jawa Pos"
Post a Comment