Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang juga menawarkan sejumlah model keserentakan pemilu bisa menjadi landasan mendesain keserentakan pemilu ke depan. Sejumlah pihak mengapresiasi tafsir MK tersebut karena selaras dengan kajian peneliti maupun kelompok masyarakat sipil. Publik berharap model keserentakan pemilu yang dipilih mengedepankan hak pemilik untuk memilih secara cerdas.
Melalui putusannya pada 26 Februari 2020, MK menegaskan konstitusionalitas pemilu serentak presiden, DPR, dan DPD. Terkait keserentakannya dengan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota serta DPRD provinsi/kabupaten, MK menyerahkannya kepada pembentuk undang-undang untuk memutuskannya. Hal tersebut merupakan kebijakan hukum yang terbuka (open legal policy). MK menjawab permohonan uji materi yang diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili direktur eksekutifnya, Titi Anggraini.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim konstitusi menegaskan, pelaksanaan pemilu yang konstitusional adalah tidak lagi memisahkan penyelenggaraan pemilu legislatif dengan pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Alasannya, keserentakan sistem pemilu itu terkait dengan sistem pemerintahan presidensial.
Sistem pemerintahan presidensial adalah bentuk dari original intent dari pembentuk UUD 1945. Selain itu, MK juga mempertimbangkan terkait efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemilu, serta hak warga negara untuk memilih secara cerdas.
MK juga memberikan beberapa pilihan model pemilu serentak yang dinilai konstitusional berdasarkan UUD 1945. Pilihan itu di antaranya pemilu serentak pemilihan anggota DPR, DPD, pilpres, dan anggota DPRD. Selanjutnya, pemilihan anggota DPR, DPD, pilpres, anggota DPRD, gubernur, dan bupati/wali kota. Lalu, pemilu serentak nasional dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal.
Berikutnya, pileg DPR, DPD, pilpres, dan beberapa waktu setelahnya pileg DPRD provinsi, serta gubernur kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilihan umum serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota dan memilih bupati dan wali kota. Serta, opsi terakhir pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pileg dan pilpres (Kompas.id, 27/2/2020).
Baca juga: KPU Cenderung Ingin Pisahkan Pemilu Nasional dan Lokal
Pendiri Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto, Jumat (28/2/2020), mengatakan, putusan MK mengoreksi tafsir keserentakan pemilu yang dipraktikkan pada 2019 yaitu pemilu lima kotak presiden/wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Tafsir MK terbaru ini kemudian menyatakan bahwa pemilu serentak yang konstitusional, serta mendukung sistem pemerintahan presidensial adalah pemilu presiden, DPR, dan DPD. Penambahan model keserentakan pemilu tersebut baik dengan pemilihan kepala daerah, bupati, wali kota, DPRD provinsi, maupun DPRD kabupaten/kota diserahkan kepada pembuat UU.
”Ini menegaskan bahwa MK membenarkan definisi yang dirumuskan oleh para teoretisi, dan akademisi pemilu. Jadi, yang namanya pemilu serentak adalah pemilu eksekutif dan legislatif,” kata Didik.
Didik yang menjadi saksi ahli dalam uji materi di MK dari sisi pemohon itu menjelaskan, putusan MK tersebut harus menjadi panduan bagi pembentuk UU dalam merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada. Dia berpandangan, melihat dari sejumlah model keserentakan pemilu yang direkomendasikan MK, usulan dari Perludem untuk memisahkan pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal adalah model yang paling rasional.
Dari sisi pemilih, mereka akan lebih termudahkan karena surat suara dan kandidat yang dipilih semakin sedikit. Isu kampanye lokal tidak akan kalah dengan isu kampanye nasional karena pemilu digelar terpisah.
Dari sisi pemilih, mereka akan lebih termudahkan karena surat suara dan kandidat yang dipilih semakin sedikit. Isu kampanye lokal tidak akan kalah dengan isu kampanye nasional karena pemilu digelar terpisah. Mereka dapat berfokus pada calon-calon dengan gagasan yang sesuai dengan aspirasi mereka.
Dari sisi penyelenggara, mereka tidak dituntut untuk mendistribusikan logistik yang jumlahnya terlalu banyak seperti saat pemilu lima kotak. Sementara itu, dari sisi partai politik, energi untuk berkampanye juga bisa lebih terfokus antara isu nasional dan isu lokal.
”Namun, partai politik ini maunya simpel saja. Mereka tidak mau dikontrol selama dua kali dalam setahun. Parpol mau pemilu sekali selesai dalam lima tahun,” kata Didik.
Menurut Didik, partai politik cenderung tidak setuju pemilu serentak nasional dipisah dengan pemilu serentak lokal karena mereka harus bekerja keras dalam dua kali pemilu. Parpol juga tidak mau dikontrol oleh pemilihnya. Sebab, jika pemilu serentak nasional dipisah dengan pemilu serentak lokal, saat pemilih kecewa dengan kinerja parpol yang dipilihnya di level nasional, pemilih dapat memutuskan untuk tidak lagi memilih mereka di pemilu lokal. Mekanisme inilah yang dianggap merugikan parpol.
”Halangan dalam model keserentakan pemilu serentak lokal dan pemilu serentak nasional ini justru berasal dari kalangan elite atau partai politik,” tegas Didik.
Parpol resisten
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menambahkan, parpol masih cenderung resisten dengan wacana pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal karena alasan pragmatisme elektoral. Menurut Titi, ada kekhawatiran parpol jika tidak bisa bersaing dengan isu pilpres, mereka akan menjadi prioritas kedua pemilih.
Padahal, praktik pemilu lima kotak di 2019, misalnya, terbukti membuat pemilih bingung. Hal ini terlihat dari banyaknya surat suara yang tidak sah. Selain itu, pemilih juga hanya memprioritaskan isu nasional, terutama pilpres. Isu lokal, seperti pemilihan DPRD provinsi, kabupaten, dan kota, kemudian tenggelam dalam hiruk pikuk pilpres yang juga mendapatkan perhatian lebih dari media.
”Dalam persyaratan memilih model keserentakan yang direkomendasikan MK kan juga dituliskan bahwa pembuat UU diminta mendesain pemilu yang berintegritas yang menjadikan pemilih cerdas dan rasional,” kata Titi.
Padahal, kata Titi, jika model pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dijalankan, sistem itu dapat memastikan fungsionalisasi parpol. Mesin parpol akan selalu bekerja untuk melakukan kaderisasi, perekrutan untuk kontestasi elektoral. Parpol pun dapat mendorong kandidat yang kinerja politiknya bagus untuk maju. Jika performa parpol kurang maksimal, hal itu dapat dievaluasi di pemilu serentak daerah.
GOOD DAY, IT’S PAY DAY!
Momen gajian kali ini semakin spesial dengan Promo Good Day, It’s Pay Day! Ada diskon hingga 30% untuk beragam produk pilihan Kompas.
Bukan wacana baru
Wacana pemisahan keserentakan pemilu di tingkat nasional dan lokal itu sebenarnya bukan wacana baru. Hasil kajian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga dinilai mengamini aspirasi kelompok masyarakat sipil. Hasil tersebut dinilai paling rasional dan dapat memperbaiki sistem pemilu di Indonesia.
Menurut Didik, isu pemisahan keserentakan pemilu sudah muncul sejak tahun 2004. Kemudian, pada 2009, panitia khusus di DPR sudah setuju mengenai wacana tersebut. Dari level pansus, usulan dibawa ke fraksi dan mayoritas fraksi di DPR menyetujui usulan tersebut.
Namun, saat disodorkan kepada ketua umum parpol, justru pimpinan parpol menolak. Akhirnya, model keserentakan itu tidak muncul dalam undang-undang yang mengatur tentang pemilu, yaitu UU No 8/2012 tentang pemilu legislatif. Perbaikan keserentakan pemilu kemudian muncul setelah masyarakat menggugat model keserentakan pemilu di MK. Saat itu, warga yang berdomisili di luar negeri tidak bisa menggunakan hak pilihnya secara optimal. Mereka merasa hak konstitusionalnya hilang karena permasalahan di sistem pemilu yang tidak serentak.
Peneliti dari Perludem, Fadli Ramadhanil, menambahkan, dalam menata model keserentakan pemilu ke depan, diharapkan pertimbangan yang digunakan adalah secara komprehensif. Jangan sampai, pembuat UU hanya melihat berat sebelah dari sudut pandang pelaku yaitu parpol. Pembuat UU harus melihat keseluruhan mulai dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu, terlebih pemilih atau rakyat.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, berpendapat, ada kekhawatiran dari parpol, terutama calon anggota legislatif, soal isu kampanye yang akan tenggelam pada hiruk pikuk pilpres jika pemilu dilaksanakan serentak dengan pilpres.
Caleg merasa fokus publik hanya terserap pada kampanye pilpres sehingga isu yang diusung caleg kalah. Namun, persoalan itu sebenarnya bisa diselesaikan dengan memisahkan waktu kampanye, tetapi pelaksanaan pemilunya tetap serentak. Dengan demikian, publik akan terfokus pada isu kampanye yang tidak berbarengan antara pileg dan pilpres.
”MK sudah mengunci bahwa pemilu yang konstitusional adalah pemilu serentak pilpres dan pileg. Ini harus menjadi pertimbangan para pembentuk UU dalam revisi UU Kepemiluan,” kata Feri.
Terkait dengan model keserentakan pemilu serentak lokal dan pemilu serentak nasional, Feri mengatakan, hal itu dapat menghindari faktor kelelahan penyelenggara seperti yang terjadi pada 2019. Parpol tidak perlu khawatir mereka harus bekerja keras selama dua kali pemilihan.
Justru dengan model keserentakan itu, parpol dapat menguji kinerja kandidatnya sehingga pemilih dapat teryakinkan saat akan memilih di pemilu nasional yang terpisah dengan pemilu lokal. Selama ini yang terjadi justru masyarakat terbelah dengan calon presiden sehingga pilihan mereka mengerucut. Namun, masyarakat yang tidak puas dengan kinerja presiden dan anggota DPR misalnya kurang bisa mengubah preferensinya di pileg lokal tingkat provinsi, kabupaten/kota.
Baca juga: Menggugat Keserentakan Pemilu
”Setiap model pemilu pasti ada plus dan minusnya. Namun, opsi pemilu serentak lokal dan nasional tampaknya yang paling rasional untuk meminimalisasi dampak buruk dari sisi pemilih maupun penyelenggara pemilu,” kata Feri.
Masa sidang berikut
Saat ini, revisi UU Pemilu dan UU Pilkada sedang dibahas di DPR. Revisi UU itu merupakan inisiatif anggota DPR yang notabene representasi dari kekuatan partai politik.
”Pertama, kami menghargai putusan MK. Selanjutnya, kami akan meminta salinan resminya dan akan segera kami lakukan pembahasan di dalam Komisi II DPR, yakni melalui fraksi-fraksi sebagai perwakilan parpol di dalam DPR,” kata Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, beberapa waktu lalu (Kompas.id, 27/2/2020).
Aziz mengatakan, putusan MK itu memberikan ruang kepada DPR untuk membuat desain atau sistem pemilu untuk diterapkan di dalam Pemilu 2024. ”Bagaimana desainnya itu nanti akan dilihat dulu perkembangannya dalam proses politik dan pembahasan di dalam komisi,” katanya.
Baca juga: Menata Ulang Pemilu Serentak
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo mengatakan, pembentuk UU akan mengkaji putusan MK itu secara mendalam. Harapannya Komisi II DPR bisa menghasilkan rumusan UU Pemilu yang menjamin pemilu demokratis, luber dan jurdil, menguatkan sistem presidensial, memantapkan kelembagaan parpol, mendorong multipartai sederhana, dan mewujudkan pemilu yang murah.
”Pembahasan RUU Pemilu akan dimulai pada masa sidang berikutnya. Sebab, saat ini tenaga ahli Komisi II bersama dengan Badan Keahlian Dewan masih menyusun naskah akademik dan draf. Karena putusan MK menyatakan ini open legal policy, pembuat UU tentu akan mengkajinya secara mendalam,” kata Arif, seperti dikutip di Kompas.id, Kamis (27/2/2020).
Adapun DPR menjalani masa reses pada 28 Februari 2020 hingga 22 Maret 2020. Masa sidang akan kembali dimulai pada 23 Maret 2020. Apa pun pertimbangan yang dibuat DPR, diharapkan hal itu tidak hanya mementingkan kepentingan elite politik, tetapi rakyat yang mereka wakili. Sebab, pemilihan umum yang berkualitas itu juga menentukan kualitas demokrasi di suatu negara.
"lokal" - Google Berita
February 29, 2020 at 05:19PM
https://ift.tt/3abOpGs
Menakar Peluang Keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal Setelah Putusan MK - kompas.id
"lokal" - Google Berita
https://ift.tt/2nu5hFK
Bagikan Berita Ini
0 Response to "Menakar Peluang Keserentakan Pemilu Nasional dan Lokal Setelah Putusan MK - kompas.id"
Post a Comment